PENGANTAR ILMU
MEMAHAMI MANUSIA
Manusia, secara umum
telah kita kenal bersama selama di dalam sekolah maupun tempat belajar di luar
sekolah, adalah makhluk yang “mulia” lebih dari makhluk ciptaan Tuhan YME
lainnya seperti binatang, tumbuhan, ataupun makhluk lainnya.
Manusia terdiri dari
jasmani dan rohani. Jasmani berupa tubuh yang nampak nyata atau bersifat riil
yang ada seperti rambut, kulit, mata, hidung, tangan, kaki, kepala dan
seterusnya yang dapat kita lihat dan kita raba. Sedangkan rohani bersifat
abstrak.
Dalam kaitan ini maka
bahasan kita adalah hal yang bersifat abstrak yaitu secara garis besar disebut
dengan sebutan “Rohani”. Rohani ini terdiri dari:
1.
Pikiran
2.
Batin.
Dengan adanya pikiran maka akan timbul hal
hal apapun yang ada didunia ini seperti pembangunan yang pesat, kedaraan yang
canggih, segala sesuatu yang bersifat nyata dan dapat dilihat serta dirasakan.
Tegasnya dengan adanya OLAH PIKIR (IDE, Cita-cita,
Keinginan) akan memunculkan OLAH KARYA (Gerakan Raga berupa Action
(Kegiatan) seperti bekerja, belajar, tidur dan sebagainya). Olah
Pikir bisa menjadikan orang PINTAR, PANDAI.
Dari pikiran itulah
akan memunculkan karya atau kegiatan (action) yang konkrit (nyata) untuk
menghasilkan sesuatu. Dari hasil kegiatan itu akan timbul sesuatu yang Negatif
ataupun Positif. Dari pikiranlah asal mula adanya Pikiran Negatif dan Pikiran
Positif.
Sedangkan hal
berikutnya adalah Batin. Dengan adanya batin kita dapat merasakan suatu yang
tidak bisa kita tangkap dengan pikiran tetapi muncul ada didalam batin setiap
manusia. Karena terkait dengan batin maka ini bersifat abstrak yang tidak bisa
kita tangkap dengan panca indera tetapi dapat kita Rasakan dengan “Indera
keenam”
Tegasnya dengan adanya OLAH BATIN (penggemblengan batin) akan
memunculkan OLAH RASA (Sesuatu yang
dapat dirasakan oleh hati manusia
seperti senang, sedih, kecewa dsb. Jika Batin tidak pernah dilatih atau diasah
maka manusia itu akan “bebal” atau “bodoh” dalam hal batiniah. Sebaliknya jika
orang bisa OLAH BATIN maka akan muncul ORANG “NGERTI”atau memahami Ilmu
Rasa Pangrasa.
Berikut ilustrasi orang
Ngerti dan Pintar (Pinter bhs. Jawa).
Pinter artinya pandai
pada ilmu pengetahuan yang bersifat lahiriayah, sedang Ngerti artinya pandai
pada ilmu pengetahuan yang bersifat batiniah atau rasa pangrasa. Sebagai orang
Jawa diharapkan bisa pinter dan ngerti.
Contoh: Anak A
sudah belajar di perguruan tinggi, dia mendapat nilai baik dalam akhir
ujiannya. Kemudian ada saudara dari desa datang yang minta bantuan, tapi dia
tidak bisa memberikan solusi atau bantuan kepadanya. Malah si A membiarkan
tanpa ada jawaban kepastiannya. Kondisi inilah yang disebut orang pinter
tapi gak ngerti. Maksudnya si A pinter dipengetahuan kuliahnya tapi di
juga bodoh untuk memahami perasaan saudaranya, hal ini si A dianggap gak
ngerti. Sekarang contoh lain: Si B sekolahnya hanya tingkat SMP saja, tapi
ketika ada orang lain atau saudaranya meminta bantuan, tanpa harus berpikir
macam – macam Si B langsung membantu sebisanya. Walau kadang tidak perlu orang
lain mengungkapkan langsung apa yang dia butuhkan kepada si B. Kondisi inilah
si B disebut wong ngerti atau wong gak pinter ning ngerti. Ngerti
karena tanpa harus orang lain mengungkapan permasalahannya, si B bisa merasakan
dan segera membantunya, meskipun pengetahuan sekolahnya hanya sebatas anak SMP.
Tetapi rasa pangrasa yang si B punya itulah yang menjadikan dia dianggap
ngerti.
Dalam dunia sekarang
ini, banyak mana orang pinter dan orang ngerti? Jawaban tegasnya adalah di bumi
nusantara ini banyak wong pinter ning ora
ngerti. Bahasa lainnya, banyak orang yang pendidikannya tinggi atau punya
ilmu pengetahuan luar canggih tapi bodoh pada ilmu rasa – pangrasa sehingga dianggap wong ora ngerti.
Contoh nyata dalam
kehidupan sehari – hari banyak mahasiswa perguruan tinggi perang atau
bermusuhan sesama mahasiswa dikampusnya, bukankah mereka semua orang pintar
atau orang pendidikan tapi mereka tidak mengerti kalau mereka jadi panutan
orang lain juga yang masih dibawahnya? Sekarang bagaimana dengan berbagai macam
pertikaian, permusuhan yang ada di dalam masyarakat. (Pembaca sendiri yang bisa
menilai atau mengomentarinya).
Kembali kepada
permasalahan Pikir dan Batin, maka bila Pikiran kita utamakan sebagai guide
atau pemandu hidup maka yang muncul adalah Nafsu Nafsu keinginan yang berlebih
dan liar. Nafsu ini sering kita sebut dengan Nafsu Indriya.
Sebaliknya jika
kita mengasah Batin terus menerus, maka yang akan muncul adalah pemahaman akan
ilmu rasa pangrasa. Dalam dunia Jawa banyak bermunculan istilah atau
ungkapan kata sehari- hari sebagai tutur bahasa seperti:
v
Duwe rasa rumangsa
Artinya Mempunyai perasaan terhadap semua tindakan yang
dilakukannya kapada orang lain. Sikap ini sebenarnya menjadi central atau pusat
semua perilaku atau tingkah laku manusia Jawa. Makanya hampir semua tindakan
itu selalu dihayati dan dirasakan dalam hati dengan ukuran pantas atau tidak
pantas ini untuk dilakukan, sopan atau tidak sopan, cocok atau tidak cocok,
semuanya diukur dengan perasaan. Sehingga di Jawa ada namanya Ilmu rasa pangrasa yang intinya semua
tindakan dan akibatnya manusia harus rasakan jika seandainya itu terjadi pada
diri dia sendiri atau pada keluarganya sendiri.
Lantas muncul
ungkapan:
Rumangsamu kepriye yen….?
Artinya:
Bagaimana
perasaan hatimu jika …?
Budaya ini
tidak dimiliki oleh bangsa lain didunia, karena segala perbuatan selalu diukur
oleh hati atau perasaan. Berarti ini perlu penghayatan bukan hanya slogan yang
sering ucapkan seperti pendidikan pengetahuan lainnya. Tapi hayati dan rasakan
dalam hati. Itulah ukurannya dalam budaya Jawa nusantara.
Contoh: Ada
orang berbuat membunuh atau mengebom kepada orang lain. Kemudian akibatnya
jelas orang yang punya keluarga menjadi korban pembunuhan atau pengeboman,
menjadi sedih dan merana atau malah sengsara hidupnya setelah salah satu
anggota keluarganya menjadi korban.
Lalu tanyakan
pada sipelaku pembunuhan atau pengeboman: Bagaimana
perasaan hatinya jika yang kena atau jadi korban keluarganya?
Kalau mereka
tidak merasa bersalah atau tidak merasa berdosa dan tidak mau mengakui
kesalahan perbuatannya, maka bagi ukuran manusia Jawa itu dianggap orang gila (Wong gak Jowo).
Kalau bahasa
ilmiah psikologi dianggap Psychopatic
Personality (Pribadi Psikopatis) artinya Suatu gangguan karakter. Individu
dengan type gangguan semacam ini disebut psikopat, dia adalah cacat karena
gagal menghayati peraturan – peraturan yang mengatur segala tingkah laku di
dalam masyarakatnya. Dia gagal dalam mengembangkan satu super-ego yang normal.
Dia bisa mencuri, berbohong, membunuh, dan melakukan serangan, kejahatan dan
pelanggaran lainnya tanpa rasa cemas yang dikontrol oleh kesadaran dan hati
nuraninya yang buruk. Sedangkan orang lain yang melakukan kejahatan itu akan
merasa cemas sekali dalam keadaan demikian.
Sebutan lain
untuk Psikopat adalah Antisocial Personality yaitu suatu
diangnosa yang diterapkan kepada individu – individu yang berulang kali selalu
konflik dengan masyarakat; mereka sangat mementingkan diri (selfish), karena
tidak pernah mampu atau gagal menghayati kesalahan sendiri. Istilah ini sinonim
denga Sosiopat. (Kartini Kartono – Dali Gulo, 2003: 23, 389)
Begitu santun
dan halus budi pekerti manusia Jawa untuk membimbing anak cucunya maka lewat
perilaku kehidupan dengan sifat dan sikap duwe
rasa rumangsa itulah diharapkan manusia Jawa menjadi Wong Jowo ngerti Jawane. Karena kalau tidak
atau sudah hilang rasa rumangsane
maka muncullah sifat dan sikap Wong Jowo
Lali Jawane. Jika sudah muncul sifat dan sikap wong Jowo lali Jawane yang namanya kerukunan dan ketentraman di
Jawa atau nusantara sulit ditemukan lagi yang ada hanyalah permusuhan dan
pertengkaran.
Anda pembaca
bisa melihat kejadian permusuhan di negeri ini lewat berita di media elekronik
dan media cetak. Kemudian pahami berita itu dengan maksud dan tujuan / arah
tulisan ini diterbitkan. Anda akan tahu betapa bodohnya bangsa kita sekarang
ini. Mengapa budaya yang kita punya ditinggalkan?
Dengan demikian semakin jelas bahwa manusia
Jawa sudah memilki apa yang harus dilakukan dalam hidup ini selalu diukur
dengan perasaan atau hati dan ketika hati yang harus berperan maka pikiran
harus dijernihkan dengan perilaku samadhi, semedi, meditasi (meditation), atau kontemplasi
(Contemplation).
Akhirnya tujuan dari perilaku samadhi yaitu
agar manusia tetap Eling lan waspada.
Sumber: IJJ – Ilmu Jiwa Jawa – Javanese
Psychology @KISS - 2013
Lihat video di Youtube: