Selasa, 07 Mei 2013

PENGANTAR ILMU MEMAHAMI MANUSIA

PENGANTAR ILMU
MEMAHAMI MANUSIA

Manusia, secara umum telah kita kenal bersama selama di dalam sekolah maupun tempat belajar di luar sekolah, adalah makhluk yang “mulia” lebih dari makhluk ciptaan Tuhan YME lainnya seperti binatang, tumbuhan, ataupun makhluk lainnya.
Manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Jasmani berupa tubuh yang nampak nyata atau bersifat riil yang ada seperti rambut, kulit, mata, hidung, tangan, kaki, kepala dan seterusnya yang dapat kita lihat dan kita raba. Sedangkan rohani bersifat abstrak.
Dalam kaitan ini maka bahasan kita adalah hal yang bersifat abstrak yaitu secara garis besar disebut dengan sebutan “Rohani”. Rohani ini terdiri dari:
1.     Pikiran
2.     Batin.

Dengan adanya pikiran maka akan timbul hal hal apapun yang ada didunia ini seperti pembangunan yang pesat, kedaraan yang canggih, segala sesuatu yang bersifat nyata dan dapat dilihat serta dirasakan.
Tegasnya dengan adanya OLAH PIKIR (IDE, Cita-cita, Keinginan)  akan memunculkan OLAH KARYA (Gerakan Raga berupa Action (Kegiatan) seperti bekerja, belajar, tidur dan sebagainya). Olah Pikir bisa menjadikan orang PINTAR, PANDAI.
Dari pikiran itulah akan memunculkan karya atau kegiatan (action) yang konkrit (nyata) untuk menghasilkan sesuatu. Dari hasil kegiatan itu akan timbul sesuatu yang Negatif ataupun Positif. Dari pikiranlah asal mula adanya Pikiran Negatif dan Pikiran Positif.
Sedangkan hal berikutnya adalah Batin. Dengan adanya batin kita dapat merasakan suatu yang tidak bisa kita tangkap dengan pikiran tetapi muncul ada didalam batin setiap manusia. Karena terkait dengan batin maka ini bersifat abstrak yang tidak bisa kita tangkap dengan panca indera tetapi dapat kita Rasakan dengan “Indera keenam”
Tegasnya dengan adanya OLAH BATIN (penggemblengan batin) akan memunculkan OLAH RASA (Sesuatu yang dapat dirasakan oleh  hati manusia seperti senang, sedih, kecewa dsb. Jika Batin tidak pernah dilatih atau diasah maka manusia itu akan “bebal” atau “bodoh” dalam hal batiniah. Sebaliknya jika orang bisa OLAH BATIN maka akan muncul ORANG “NGERTI”atau memahami Ilmu Rasa Pangrasa.

Berikut ilustrasi orang Ngerti dan Pintar (Pinter bhs. Jawa).

Pinter artinya pandai pada ilmu pengetahuan yang bersifat lahiriayah, sedang Ngerti artinya pandai pada ilmu pengetahuan yang bersifat batiniah atau rasa pangrasa. Sebagai orang Jawa diharapkan bisa pinter dan ngerti.
Contoh: Anak A sudah belajar di perguruan tinggi, dia mendapat nilai baik dalam akhir ujiannya. Kemudian ada saudara dari desa datang yang minta bantuan, tapi dia tidak bisa memberikan solusi atau bantuan kepadanya. Malah si A membiarkan tanpa ada jawaban kepastiannya. Kondisi inilah yang disebut orang pinter tapi gak ngerti. Maksudnya si A pinter dipengetahuan kuliahnya tapi di juga bodoh untuk memahami perasaan saudaranya, hal ini si A dianggap gak ngerti. Sekarang contoh lain: Si B sekolahnya hanya tingkat SMP saja, tapi ketika ada orang lain atau saudaranya meminta bantuan, tanpa harus berpikir macam – macam Si B langsung membantu sebisanya. Walau kadang tidak perlu orang lain mengungkapkan langsung apa yang dia butuhkan kepada si B. Kondisi inilah si B disebut wong ngerti atau wong gak pinter ning ngerti. Ngerti karena tanpa harus orang lain mengungkapan permasalahannya, si B bisa merasakan dan segera membantunya, meskipun pengetahuan sekolahnya hanya sebatas anak SMP. Tetapi rasa pangrasa yang si B punya itulah yang menjadikan dia dianggap ngerti.

Dalam dunia sekarang ini, banyak mana orang pinter dan orang ngerti? Jawaban tegasnya adalah di bumi nusantara ini banyak wong pinter ning ora ngerti. Bahasa lainnya, banyak orang yang pendidikannya tinggi atau punya ilmu pengetahuan luar canggih tapi bodoh pada ilmu rasa – pangrasa sehingga dianggap wong ora ngerti.
Contoh nyata dalam kehidupan sehari – hari banyak mahasiswa perguruan tinggi perang atau bermusuhan sesama mahasiswa dikampusnya, bukankah mereka semua orang pintar atau orang pendidikan tapi mereka tidak mengerti kalau mereka jadi panutan orang lain juga yang masih dibawahnya? Sekarang bagaimana dengan berbagai macam pertikaian, permusuhan yang ada di dalam masyarakat. (Pembaca sendiri yang bisa menilai atau mengomentarinya).

Kembali kepada permasalahan Pikir dan Batin, maka bila Pikiran kita utamakan sebagai guide atau pemandu hidup maka yang muncul adalah Nafsu Nafsu keinginan yang berlebih dan liar. Nafsu ini sering kita sebut dengan Nafsu Indriya.
Sebaliknya jika kita mengasah Batin terus menerus, maka yang akan muncul adalah pemahaman akan ilmu rasa pangrasa. Dalam dunia Jawa banyak bermunculan istilah atau ungkapan kata sehari- hari sebagai tutur bahasa seperti:

v   Duwe rasa rumangsa

Artinya Mempunyai perasaan terhadap semua tindakan yang dilakukannya kapada orang lain. Sikap ini sebenarnya menjadi central atau pusat semua perilaku atau tingkah laku manusia Jawa. Makanya hampir semua tindakan itu selalu dihayati dan dirasakan dalam hati dengan ukuran pantas atau tidak pantas ini untuk dilakukan, sopan atau tidak sopan, cocok atau tidak cocok, semuanya diukur dengan perasaan. Sehingga di Jawa ada namanya Ilmu rasa pangrasa yang intinya semua tindakan dan akibatnya manusia harus rasakan jika seandainya itu terjadi pada diri dia sendiri atau pada keluarganya sendiri.
Lantas muncul ungkapan:

 Rumangsamu kepriye yen….?

Artinya:
Bagaimana perasaan hatimu jika …?

Budaya ini tidak dimiliki oleh bangsa lain didunia, karena segala perbuatan selalu diukur oleh hati atau perasaan. Berarti ini perlu penghayatan bukan hanya slogan yang sering ucapkan seperti pendidikan pengetahuan lainnya. Tapi hayati dan rasakan dalam hati. Itulah ukurannya dalam budaya Jawa nusantara.

Contoh: Ada orang berbuat membunuh atau mengebom kepada orang lain. Kemudian akibatnya jelas orang yang punya keluarga menjadi korban pembunuhan atau pengeboman, menjadi sedih dan merana atau malah sengsara hidupnya setelah salah satu anggota keluarganya menjadi korban.
Lalu tanyakan pada sipelaku pembunuhan atau pengeboman: Bagaimana perasaan hatinya jika yang kena atau jadi korban keluarganya?
Kalau mereka tidak merasa bersalah atau tidak merasa berdosa dan tidak mau mengakui kesalahan perbuatannya, maka bagi ukuran manusia Jawa itu dianggap orang gila (Wong gak Jowo).
Kalau bahasa ilmiah psikologi dianggap Psychopatic Personality (Pribadi Psikopatis) artinya Suatu gangguan karakter. Individu dengan type gangguan semacam ini disebut psikopat, dia adalah cacat karena gagal menghayati peraturan – peraturan yang mengatur segala tingkah laku di dalam masyarakatnya. Dia gagal dalam mengembangkan satu super-ego yang normal. Dia bisa mencuri, berbohong, membunuh, dan melakukan serangan, kejahatan dan pelanggaran lainnya tanpa rasa cemas yang dikontrol oleh kesadaran dan hati nuraninya yang buruk. Sedangkan orang lain yang melakukan kejahatan itu akan merasa cemas sekali dalam keadaan demikian.
Sebutan lain untuk Psikopat adalah Antisocial Personality yaitu suatu diangnosa yang diterapkan kepada individu – individu yang berulang kali selalu konflik dengan masyarakat; mereka sangat mementingkan diri (selfish), karena tidak pernah mampu atau gagal menghayati kesalahan sendiri. Istilah ini sinonim denga Sosiopat. (Kartini Kartono – Dali Gulo, 2003: 23, 389)


Begitu santun dan halus budi pekerti manusia Jawa untuk membimbing anak cucunya maka lewat perilaku kehidupan dengan sifat dan sikap duwe rasa rumangsa itulah diharapkan manusia Jawa menjadi Wong Jowo ngerti Jawane. Karena kalau tidak atau sudah hilang rasa rumangsane maka muncullah sifat dan sikap Wong Jowo Lali Jawane. Jika sudah muncul sifat dan sikap wong Jowo lali Jawane yang namanya kerukunan dan ketentraman di Jawa atau nusantara sulit ditemukan lagi yang ada hanyalah permusuhan dan pertengkaran.
Anda pembaca bisa melihat kejadian permusuhan di negeri ini lewat berita di media elekronik dan media cetak. Kemudian pahami berita itu dengan maksud dan tujuan / arah tulisan ini diterbitkan. Anda akan tahu betapa bodohnya bangsa kita sekarang ini. Mengapa budaya yang kita punya ditinggalkan?
Dengan demikian semakin jelas bahwa manusia Jawa sudah memilki apa yang harus dilakukan dalam hidup ini selalu diukur dengan perasaan atau hati dan ketika hati yang harus berperan maka pikiran harus dijernihkan dengan perilaku samadhi, semedi, meditasi (meditation), atau kontemplasi (Contemplation).
Akhirnya tujuan dari perilaku samadhi yaitu agar manusia  tetap Eling lan waspada.
 
Sumber: IJJ – Ilmu Jiwa Jawa – Javanese Psychology @KISS - 2013

 
Lihat video di Youtube: